31 Oktober 2008

PENEMUAN HUKUM

1. Pengertian Penemuan Hukum

Pembahasan yang dilakukan terlebih dahulu, diuraikan tentang pengertian penemuan hukum dengan penciptaan hukum yang dikenal dalam ilmu hukum, sebagaimana yang dikemukakan Van Eikema Hommes yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.

Pengertian yang lain terdapat pada penemuan hukum dapat dibedakan dalam pengertian yang sempit dan pengertian yang luas. Pengertian penemuan hukum dalam arti sempit, adalah jika peraturannya sudah ada dan sudah jelas, dimana hakim tinggal menerapkan saja.

Penerapannya adalah hakim dianggap tetap melakukan penemuan, yaitu dalam menemukan kesesuaian antara maksud atau bunyi peraturan undang-undang dengan kualifikasi peristiwa atau kasusnya, sedangkan pengertian penemuan hukum dalam arti yang luas, adalah posisi hakim bukan lagi sekedar menerapkan peraturan hukum yang sudah jelas dengan mencocokkannya pada kasus yang ditangani, membuat putusan, sudah memperluas makna suatu ketentuan undang-undang yang terbagi atas konstruksi hukum dan interpretasi hukum.

Berdasarkan Pasal 27 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Rechtsvinding yang berakibat adanya Penciptaan hukum, sebagai contoh adalah Fiducia (lembaga hukum baru) yang pada dasarnya adalah gadai. Perbedaannya adalah gadai, barang jaminan ada di tangan yang meminjamkan uang, sedangkan Fiducia, barang jaminan ada di tangan peminjam uang.

Hakim senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi didalam masyarakat. Hal ini perlu undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan-perkembangan didalam masyarakat.

Berkenaan dengan penemuan hukum, sebagaimana yang dikemukakan Van Gerven yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa dalam penemuan hukum dikenal dengan adanya aliran progresif dan aliran konservatif. Aliran progresif berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial, sedangkan aliran konservatif bahwa hukum dan peradilan hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral dan nilai-nilai lain.

WIARDA sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo membagi menjadi dua jenis tentang penemuan hukum, yaitu penemuan hukum yang heteronom dan otonom. Dalam penemuan hukum yang heteronom, hakim berdasarkan pada peraturan diluar dirinya, artinya hakim tidak mandiri karena harus tunduk pada undang-undang. Sedangkan pada penemuan hukum yang otonom, hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri. Jadi dalam penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut apresiasi pribadi.

Kegiatan penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim adalah merupakan kegiatan dalam melaksanakan Undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit. Ketentuan Undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya, maka ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya, maka ketentuan undang-undang harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya, kemudian baru diterapkan pada peristiwanya.

2. Landasan Penemuan Hukum

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas mengenai pengertian penemuan hukum, maka diperlukan sumber-sumber hukum yang mengatur tentang penemuan hukum itu sendiri. Adapun dasar hukum positif Penemuan hukum semuanya bersumber pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka (bebas), dimana kekuasaan kehakiman atau kebebasan peradilan atau kebebasan hakim merupakan salah satu dasar (memberi keleluasaan) penemuan hukum. Sementara dalam Pasal 2 ayat (1) menentukan tugas pokok kekuasaan kehakiman yaitu menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, memberi kesempatan atau peluang bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum dalam hal ini hakim dalam memeriksa perkara harus diselesaikan selain itu untuk menyelesaikannya, hakim harus melakukan penemuan hukum.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Hakim harus mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, apabila dibandingkan dengan Pasal 20 AB (Algemene Bepalingan van wetgeving), artinya Hakim wajib mengadili menurut undang-undang.

Pasal 14 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan menjatuhkan putusan. Pasal ini mengandung Azas Rechtsweigering (mengolah hukum), yaitu azas hakim wajib memeriksa, mengadili perkara. Dengan adanya kewajiban ini, maka hakim tidak boleh menolak memeriksa, mengadili perkara dengan alasan apapun (misalnya tidak ada hukumnya), sehingga hakim wajib menemukan hukumnya.

Pasal 27 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini mengandung pengertian bahwa hukumnya tidak tampak, sehingga harus digali kepermukaan. Penemuan hukum bukan penciptaan hukum (hukumnya sudah ada), tetapi akibatnya bisa merupakan penciptaan hukum.

Berkenaan dengan penemuan hukum yang dilakukan oleh Notaris, maka landasan hukum yang digunakan adalah Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Oleh karena itu, walaupun dalam pasal tersebut tidak dinyatakan secara tegas berkenaan dengan penemuan hukum oleh Notaris, namun penulis berpendapat bahwa Pasal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar Notaris dalam melakukan penemuan hukum terhadap akta-akta yang dibuatnya.

3. Subyek Penemuan Hukum

Subyek penemuan hukum pada prinsifnya adalah para pihak yang melakukan penemuan hukum yang dalam undang-undang diperbolehkan untuk itu. Oleh karena itu apabila dalam proses penemuan hukum bertentangan dengan undang-undang artinya bahwa penemuan hukum tersebut tidak dilakukan bagi pihak yang diberikan wewenang untuk itu, maka penemuan hukum tersebut tidak dapat dijadikan dasar pegangan untuk berbuat atau dijadikan landasan kerangka berfikir dalam mempertimbangkan persoalan-persoalan dalam penyelesaian hukum yang ada.

Berkaitan dengan hal diatas, adapun para pihak yang melakukan penemuaan hukum antara lain sebagai berikut :

a. Hakim

Hakim diantara para pihak yang melakukan penemuan hukum, hakimlah sebagai subyek yang paling menonjol dalam melakukan penemuan hukum sebab hakim besifat konfliktif yaitu ada pertentangan atau konflik antara para pihak, sebagaimana hasilnya merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum yang dituangkan dalam bentuk putusan, sementara hakim juga penemuannya merupakan sebagai sumber hukum karena merupakan peraturan hukum untuk waktu mendatang.

b. Pembentuk Undang-undang

Pembentuk Undang-undang atau dapat dikatakan legal Drafter, dalam hal ini sifatnya adalah Preskriptif dimana apa yang seharusnya dilaqkukan. yang hasilnya merupakan hukum, karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum (dituangkan dalam bentuk undang-undang), juga sebagai sumber hukum, karena merupakan peraturan hukum positif.

c. Notaris

Notaris dalam melakukan proses penemuan hukum bersifat problematis yang artinya masalah-masalah yang diajukan oleh klien. dimana hasilnya merupakan hukum, sebab mempunyai kekuatan mengikat, akan tetapi belaum dapat dikatakan sebagai sumber hukum sebaba belum ada satupun dalam teori yang mengemukakan tentang Notaris merupakan sumber hukum dalam menemukan hukum, walaupun Notaris melakukan penemuan hukum, klien yang mengajukan masalah hukum untuk menemukan hukumnya.

d. Dosen, Pakar dan Peneliti hukum

Dosen, Pakar dan Peneliti hukum sifatnya adalah Reflektif yang artinya adalah merupakan hasil refleksi atau perenungan dari pakar. Dimana hasil yang diperoleh dalam menemukan hukum merupakan bukan merupakan hukum karena sifatnya hanya terbatas sebagai teori saja, akan tetapi merupakan sumber hukum yang kategorinya sebagai doktrin.

e. Para Pihak

Para pihak disini adalah para pihak yang menemukan hukum untuk kepentingan diri sendiri (Emosional) artinya bahwa penemuan hukum tersebut tidaklah merupakan sebagai sumber hukum bahkan juga tidak dapat dijadikan hukum, sekalipun pada dasarnya setiap orang dapat melakukan penemuan hukum.

4. Metode penemuan hukum

Metode penemuan hukum dapat juga dikatakan adalah cara atau teknik untuk menemukan hukum. Adapun cara untuk menemukan hukum harus memenuhi syarat-syarat, yaitu harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam ke-3 unsur-unsur penemuan hukum antara lain adalah Sumber Penemuan Hukum, Subyek Penemuan Hukum, dan Metode penemuan hukum itu sendiri.

Metode penemuan hukum bukan merupakan suatu peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung atau Undang-undang, tetapi merupakan hasil penelitian yang tidak secara khusus dilakukan dari yurisprudensi yang ada selama ini atau pengamatan-pengamatan dari putusan pengadilan. Dapat disimpulkan dari yurisprudensi bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan metode penemuan hukum.

Adapun penemuan hukum dapat disistemisasi atau dikategorikan menjadi sebagai berikut :

a. Metode interpretasi atau penafsiran

Metode ini merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan secara gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa hukum konkrit.

Metode Interprstasi ini adalah alat atau sarana untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu harus dikaji dengan hasil yang diperoleh.

Metode interpretasi atau penafsiran terdiri dari sebagai berikut :

1. Interpretasi Gramatikal

Metode ini merupakan metode yang disesuaikan dengan bahasa umum sehari-hari. Artinya adalah suatu metode yang dipakai dengan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya. Contoh misalnya antara penggelapan Pasal 41 KUHP adakalanya ditafsirkan sebagai menghilangkan.

2. Interpretasi Sistematis/Logis

Metode ini merupakan metode dimana dalam melakukan penafsiran undang-undanglah yang dijadikan dasar dengan jalan menghubungkan dengan undang-undang lain, dalam hal ini tidak boleh keluar dari konteks peraturan perundang-undangan. Contoh misalnya berbicara tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentaun-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan pasal 278 KUHP.

3. Interpretasi Historis

Metode ini merupakan sutau metode yang mana dalam penerapannya mengacu kepada sejarah terbentuknya suatu undang-undang begitu juga dengan sejarah terebentuknya hukum. Untuk dapat mengetahui bagaimana proses terbentuknya hukum bisa saja diliat dari sejarah-sejarah pada zaman romawi kuno atau pada zaman yunani, kemudian untuk mengetahui proses terbentuknya peraturan perundang-undangan ditinjau ketika DPR bersama dengan pendukungnya dalam menentapkan suatu undang-undang.

4. Interpretasi Teleologis/Sosiologis

Metode ini yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan Interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah buram atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Disini peraturan peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.

Ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang. Peraturan hukum yang lama itu disesuaikan dengan keadaan yang baru : peraturan yang lama dibuat aktual. Interpretasi teleologis ini dinamakan juga Interpretasi sosiologis. Metode tersebut dapat digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara. Contoh misalnya pencurian dalam hal tenaga listrik apakah hal tersebut masuk didalam rumusan Pasal 362.

5. Interpretasi Komparatif

Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional ini penting karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaidah hukum untuk beberapa negara. Diluar hukum perjanjian internasional kegunaan metode ini terbatas.

6. Interpretasi Futuristis

Interpretasi Futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman kepada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.

Dari Metode Interpretasi-interpretasi tersebut diatas dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian yaitu antara lain :

a. Interpretasi Restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. Untuk. Untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang ruang lingkup ketentuan itu dibatasi. Menururt interpretasi gramatikal ”tetangga” menurut Pasal 666 KUHPerdata dapat diartikan setiap tetangga, termasuk seorang penyewa dari pekarangan sebelahnya. Kalau tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa, ini merupakan Interpretasi Restriktif.

b. Interpretasi Ekstensif dilampaui batas-batas yang ditetapkan oleh Interpretasi Gramatikal. Sebagai contoh dapat disebutkan penafsiran kata ”menjual” dalam Pasal 1567 BW oleh Hoge Raad menafsirkan luas dalam bukunya Sudikno Mertokusumo yaitu bukan semata-mata hanya berarti jual beli saja, tetapi juga ”peralihan” atau pengasingan.

b. Metode Argumentasi

Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Disini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan alasan tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya apabila mengacu pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sekarang 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam hal ini hakim dituntut untuk melakukan penemuan hukum.

Berkaitan dengan hal diatas, maka Metode Argumentasi dapat dibagi menjadi 2 golongan antara lain :

1). Argumentum Per Analogiam (Analogi)

Metode tersebut merupakan metode dalam menemukan hukum, yang dicari adalah peristiwa khusus yang mirip, karena yang ditonjolkan adalah kemiripan. Contoh Pasal 1576 KUHPerdata yang berbicara tentang penjualan apabila dikaitkan dengan antara tukar menukar dengan jual beli.

2). Argumentum A Contrario (A Contraria)

Metode tersebut dalam mencari hukumnya bagi peristiwa khusus, dimana hukumnya tidak ada, maka dicari adalah peraturan lain yang mengatur peristiwa khusus konkrit yang mirip, tetapi terdapat perbedaan. Yang paling menonjol dalam metode ini adalah perbedaannya.

Contoh berbicara mengenai janda dan duda, dimana hanya janda yang diberikan batasan dalam hal perkawinan setelah bercerai. Sementara bagi seorang duda yang ingin kawin lagi setelah bercerai tidak ada aturan yang mengatur tentang batasan-batasan yang diberikan.

c. Penyempitan Hukum

Penyempitan Hukum terjadi apabila peraturan yang dijadikan sebagai dasar ruang lingkupnya terlau umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk duterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.

Dalam penyempitan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum. Disini peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. Contohnya adalah ditinjau dari pasal 1365 KUHperdata.

4. Prosedur Penemuan Hukum

Adapun prosedur penemuan hukum yang dilakukan diantaranya yaitu mengkonstatasi, mengkualifikasi, dan mengkonstitusi yang selanjutnya dijabarkan sebagai berikut :

a). Mengkonstatasi berarti merumuskan peristiwa konkrit.Dalam hal ini peristiwa tersebut pembuktian tidak semua peristiwa yang sekiranya menjadi sengketa dibuktikan, tetapi diseleksi dimana peristiwa yang relevan (relevan bagi hukum untuk dibuktikan) dalam artian harus dibuktikan. Peristiwa yang irrelevan (tidak relevan bagi hukum untuk dibuktikan) tidak perlu dibuktikan, misalnya dalam kasus pembunuhan (ditembak kepalanya), ini tidak perlu dibuktikan bahwa orang yang ditembak kepalanya, pasti akan mati.

b). Mengkualifikasi

Selanjutnya pada tahap ini peristiwa konkrit ini harus dikualifikasi atau dikonversi atau diterjemahkan menjadi peristiwa hukum atau dicarikan hukumnya (dikualifikasi). Mengkualifikasi, pada dasarnya merupakan Legal Problem Solving (memecahkan masalah-masalah hukum). Artinya peristiwa konkritnya diterjemahkan atau dirumuskan dalam bahasa, agar hukumnya dapat diterapkan atau dilaksanakan.

c). Mengkonstitusi

Proses selanjutnya diterjemahkan menjadi peristiwa hukum, maka dicarikan hukumnya, yaitu peraturan hukum mana yang dapat diterapkan pada peristiwa hukum itu (mencari sumber hukumnya). Dalam hal ini harus diingat hierarki sumber hukumnya, maksudnya harus dicari dari sumber hukum yang tertinggi sampai menemukan hukumnya.

Setelah diketemukan hukumnya, maka peristiwa konkrit menjadi peristiwa hukum dan selanjutnya memberikan hukumnya, hukumnya atau haknya (dikonstitusi).

Mengkonstitusi, yang pada dasarnya merupakan Decision Making (mengambil/membuat keputusan), dengan melalui penemuan hukum :

1). Menganalisis peraturan-peraturan hukum : membaca isi peraturan peraturan hukum.

2). Menginterpretasi peraturan-peraturan hukum : penafsiran-penafsiran.

Hal ini disebabkan hukum disatu sisi bersifat umum, sedangkan disisi

lain pada umumnya hukum dirumuskan dalam blanket norm (norma yang umum dan luas, ruang lingkupnya), sedangkan peristiwa konkrit (khusus). Selanjutnya peraturan yang telah diketemukan tersebut diterapkan, yaitu dapat diteruskan pada tahap selanjutnya (pelaksanaan) atau tidak dapat diteruskan, kemudian dicoba dengan mencarikan hukum yang lain.

3). Tahap Pelaksanaan

(a). Penerapan Terhadap peristiwa konkritnya.

Dalam penerapan peraturannya digunakan suatu methode yang disebut silogisme, yaitu suatu penalaran yang menggabungkan 2 pikiran menjadi satu pikiran yang baru sama sekali (bukan merupakan penjumlahan).

(b). Evaluasi

Silogisme ini harus dievaluasi atau dipertimbangkan argumentasi, misalnya yang menyangkut hukuman yang akan dijatuhkan.




HUKUM JAMINAN

Jaminan

1. Pengertian Jaminan

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, jaminan diartikan sebagai tanggungan atas pinjaman yang diterima.

Pengaturan umum tentang jaminan diatur dalam ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa segala kebendaan pihak yang berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Jadi, kebendaan yang merupakan harta kekayaan seseorang (debitur) yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari akan selalu menjadi jaminan bagi perikatan orang (debitur) tersebut dengan seorang kreditur. Sehingga menimbulkan hak bagi kreditur yaitu berupa hak tagih yang dijamin dengan :

a. Semua barang debitur yang sudah ada, artinya yang sudah ada pada saat hutang dibuat;

b. Semua barang yang akan ada; disini berarti barang-barang yang pada saat pembuatan hutang belum menjadi kepunyaan debitur, tetapi kemudian menjadi miliknya. Dengan perkataan lain hak kreditur meliputi barang-barang yang akan menjadi milik debitur, asal kemudian benar-benar, menjadi miliknya;

c. Baik barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak;

Hal ini menunjukkan bahwa utang kreditur menindih seluruh harta debitur tanpa terkecuali dan jaminan seperti di atas diberikan kepada kreditur dan karenanya disebut jaminan umum dan setiap kreditur menikmati hak jaminan umum seperti itu.

Berdasarkan Pasal 1132 KUHPerdata menyebutkan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.


Menurut J.Satrio sebagaimana yang dikutip oleh Salim HS, mengartikan hukum Jaminan adalah Peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. Selain itu, Salim HS, juga berpendapat bahwa hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana yang dikutip oleh Salim HS dalam penyelenggaraan seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 disimpulkan bahwa pengertian Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.

Menurut Hartono Hadisoeprapto menjelaskan yang dimaksud dengan jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewjiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan[4]

Hal ini menunjukkan bahwa utang kreditur menindih seluruh harta debitur tanpa terkecuali dan jaminan seperti di atas diberikan kepada kreditur dan karenanya disebut jaminan umum dan setiap kreditur menikmati hak jaminan umum seperti itu.

Rumusan tersebut di atas menunjukkan bahwa atas asas persamaan antar kreditur bisa terjadi penyimpangan-penyimpangan atas dasar adanya hak-hak yang didahulukan, yaitu dalam hal seorang kreditur mempunyai hak-hak khusus, berupa hak yang memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kreditur lainnya dalam pelunasan hutangnya sehingga kreditur pemegang jaminan khusus ini relatif lebih terjamin dalam pemenuhan tagihannya.

b. Penggolongan Jaminan

Pada umumnya jaminan yang ada di Indonesia dapat dikelompokan menjadi 5 (lima) jenis sebagai berikut :

1). Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang dan yang lahir karena perjanjian;

2). Jaminan umum dan jaminan khusus;

3). Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan;

4). Jaminan yang mempunyai objek benda bergerak dan jaminan atas benda tidak bergerak;

5). Jaminan yang menguasai bendanya dengan jaminan yang tidak menguasai bendanya.

Kelima jenis penggolongan jaminan tersebut selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut :

1). Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang dan yang lahir karena perjanjian

Jaminan yang lahir karena undang-undang adalah jaminan yang ada karena ditentukan oleh undang-undang yang tidak memerlukan perjanjian antara kreditur dan debitur. Harta kekayaan seseorang secara otomatis merupakan jaminan dari utang-utangnya sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi bahwa segala kebendaan pihak yang berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata dapat diambil kesimpulan bahwa :

a) Segala kebendaan milik seseorang merupakan jaminan dari utang-utangnya;

b). Kebendaan tersebut mencakup pula benda-benda yang akan diperoleh atau dimiliki debitur di kemudian hari;

c). Kebendaan tersebut meliputi benda-benda yang bergerak, tidak bergerak dan benda tidak berwujud.

Perjanjian jaminan yang lahir karena undang-undang ini menimbulkan jaminan umum artinya semua harta benda debitur menjadi jaminan bagi seluruh utang debitur dan berlaku untuk semua kreditur. Para kreditur mempunyai kedudukan konkuren yaitu secara bersama-sama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang.

Jaminan yang lahir karena perjanjian adalah jaminan yang ada karena diperjanjikan terlebih dahulu antara kreditur dan debitur. Jaminan yang lahir karena perjanjian dapat berupa hak tanggungan, hak gadai, jaminan fidusia dan jaminan penanggungan.

2). Jaminan Umum dan Jaminan Khusus.

Jaminan umum lahir dan bersumber dari undang-undang. Adanya ditentukan oleh undang-undang tanpa ada perjanjian dari para pihak (kreditur dan debitur). Perwujudan jaminan umum yang bersumber karena undang-undang berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata. Hal ini berarti semua kekayaan yang dimiliki seseorang secara otomatis menjadi jaminan apabila orang tersebut membuat perjanjian hutang atau perjanjian lainnya dengan orang lain meskipun kekayaan orang tersebut tidak diserahkan atau dinyatakan secara tegas sebagai jaminan.

Jaminan khusus lahir karena adanya perjanjian antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan atau jaminan perorangan. Agar kreditur memiliki hak yang utama atau istimewa (preference) atas beda jaminan yang secara khusus disediakan oleh debitur maka jaminan tersebut harus diikat secara khusus.

Dikatakan demikian karena dalam perjanjian khusus, perikatanmya diikat secara khusus dan krediturnya khusus yaitu kreditur yang diutamakan.

3). Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan

Jaminan kebendaan merupakan jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dan dapat diperalihkan.

Jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan dimana pihak ketiga bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban oleh debitur, dan pihak ketiga menjamin pembayaran kembali suatu pinjaman sekiranya yang berhutang (debitur) tidak mampu dalam memenuhi kewajiban-kewajiban finansialnya terhadapa kreditur.

Jaminan semacam ini pada dasarnya diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata, dimana dalam perjanjian penanggungan ini terdapat pihak ketiga yang menyanggupi untuk memenuhi perikatan apabila debitur tersebut melakukan wanprestasi .

4). Jaminan yang mempunyai objek benda bergerak dan jaminan atas benda tidak bergerak.

Adapun pembebanan untuk benda-benda bergerak dilakukan dengan lembaga jaminan gadai dan fidusia, sedangkan pembebanan untuk benda-benda tidak bergerak dilakukan dengan lembaga jaminan hak tanggungan dan hipotik.

5). Jaminan yang menguasai bendanya dengan jaminan yang tidak menguasai bendanya

Jaminan yang diberikan dengan menguasai bendanya, sebagai contoh gadai, sedangkan jaminan tanpa menguasai bendanya dapat dijumpai pada hipotik, hak tanggungan, fidusia dan previlegi



PERJANJIAN KREDIT

Perjanjian Kredit

1. Pengertian Perjanjian Kredit

Berdasarkan Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terdapat istilah perjanjian pinjam-meminjam, yang dinyatakan sebagai berikut:

Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian,dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

Perjanjian Kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antar keduanya[1]. Oleh karena itu, pengertian perjanjian kredit tidak terbatas pada apa yang telah dijelaskan diatas akan tetapi lebih luas lagi penafsirannya. Perjanjian kredit dapat juga disebut perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminannya adalah assesoirnya.

Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitor[2].

Sehingga dapat dikatakan juga perjanjian kredit merupakan perjanjian baku, dengan di sana sini diadakan penyesuaian seperlunya.

Biasanya pihak bank telah mempunyai draft tersendiri, dimana para pihak dapat mengisi data pribadi dan data tentang pinjaman yang diambil, sedangkan jangka waktu dan bentuknya sudah dicetak secara baku. Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka debitur berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut.

Apabila debitur menolak, maka debitur tidak perlu untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut. Selanjutnya untuk dapat terjadinya suatu perjanjian, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi salah satunya adalah sepakat, sehingga dengan ditandatanganinya perjanjian kredit tersebut berarti berlakulah perjanjian kredit antara kreditur dan debitur.

2. Isi Perjanjian Kredit

Pada praktek isi perjanjian kredit berbeda-beda antara satu bank dengan bank lainnya, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Perjanjian kredit tersebut dapat mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dapat pula berdasarkan atas kesepakatan bersama, akan tetapi untuk aturan-aturan yang memaksa harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata.

Hal-hal yang dicantumkan dalam perjanjian kredit meliputi definisi serta istilah-istilah yang akan digunakan dalam perjanjian. Jumlah dan batas waktu pinjaman, pembayaran kembali pinjaman (repayment), hak si peminjam dan dendanya apabipa debitur lalai membayar bungan, terakhir dicantumkan berbagai klausula seperti hukum yangberlaku untuk perjanjian tersebut[3].

3. Subyek-subyek dalam perjanjian kredit

a. Pemberi Kredit (kreditur)

Berdasarkan Pasal 1 butir 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

berdasarkan Undang-undang tersebut diatas, maka yang dimaksud kreditur adalah Bank. Selanjutnya jenis bank menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 adalah bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank umum menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, dapat untuk mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu.

Bank Perkreditan rakyat, yaitu bank yang dapat menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu pemberian kredit pada hakekatnya melaksanakan secara langsung tugas-tugas pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan sektor ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menurut pola yamg ditetapkan oleh pemerintah.

b. Penerima Kredit (Debitur)

Rumusan mengenai penerima kredit diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, akan tetapi menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, “dalam pemberian kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”. Keyakinan bank tersebut menurut penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 berdasarkan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan prospek usaha debitur.

Berkenaan dengan hal tersebut pengaturan tentang debitur tidak diatur secara tegas siapa saja yang dapat menjadi debitur, akan tetapi hanya disebutkan bahwa debitur adalah orang yang mendapat fasilitas dari pihak kreditur (bank) berupa kredit dengan kewajiban mengembalikan pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa debitur adalah perseorangan atau badan usaha yang mendapatkan kredit dan wajib mengembalikan setelah jangka waktu yang telah ditentukan.

4. Jaminan pada Perjanjian Kredit

Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko dalam pelaksanaannya. sehingga, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat[4]. Perjanjian kredit dibuat berdasarkan prinsip Character, Capacity, Capital, Collateral dan Conditio of Economic yang merupakan unsur penting untuk menganalisa apakah calon debitur bisa mendapat kredit dari bank atau tidak. Fungsi jaminan ini antara lain adalah sebagai pengaman apabila di kemudian hari debitur tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya.

Berdasarkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur jaminan. Pasal 1131 menyebutkan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa semua harta kekayaan si berhutang di jadikan jaminan bagi semua kewajibannya, yang mana hutang tersebut meliputi :

a. Benda bergerak dan tidak bergerak;

b. Benda yang sudah ada pada saat perjanjian dibuat;

c. Benda yang baru akan ada pada saat perjanjian dibuat.

Selanjutnya Pasal 1132 KUHPerdata menjelaskan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata merupakan suatu perlindungan kepada kreditur yang bersifat umum yang artinya bahwa yang dapat dijadikan jaminan adalah semua harta debitur.

Menurut Hartono Hadisoeprapto menjelaskan yang dimaksud dengan jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewjiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan[5]. Jadi tujuannya adalah untuk memberikan keyakinan kepada kreditur bahwa piutangnya akan dikembalikan oleh debitur.

Pandangan Subekti menjelaskan berkenaan dengan lembaga jaminan sebagai berikut :

karena lembaga jaminan yang baik, adalah lembaga yang dapat secara mudah membantu memperoleh kredit itu bagi pihak yang memerlukan,yang mana tidak melemahkan posisi (kekuatan) si Kreditur untuk melakukan atau meneruskan usahanya, serta dapat memberikan kepastian kepada si pemberi kredit dalam arti barang jaminan setiap waktu tersedia untuk di eksekusi,artinya jaminan tersebut dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi hutang si penerima kredit [6]

Perjanjian Jaminan merupakan salah satu perjanjian yang bersifat accesoir (tambahan) yaitu perjanjian yang selalu menyertai perjanjian pokok. sehingga perjanjian Jaminan dapat berakhir bila perjanjian pokoknya telah berakhir.

5. Jangka Waktu

Perjanjian kredit perlu ditentukan jangka waktu. Karena kredit adalah pinjaman dan akhirnya pada suatu waktu harus dikembalikan kepada penyedia kredit. Terlebih lagi untuk perbankan bahwa kredit yang diberikan itu berasal dari dana masyarakat[7].oleh karena itulah perlu dicantumkannya item jangka waktu agar setiap kreditur dapat bertanggung jawab terhadap kewajibannya.

Jika jangka waktu telah ditentukan dan penerima kredit ingkar janji, perlu ditentukan hukuman atas kelalaian itu,apakah berupa denda, bunga,biaya dan lain-lain. Sehingga penyelesaian kredit itu tidak berlarut-larut. Hal ini akan memudahkan proses penyelesaian baik dilihat dari sudut penyedia dan penerima kredit



[1] Mariam Darus Baruldzaman.Bab-bab tentang Credit Verband,Gadai dan Fiducia.Bandung: PT Citra Aditya Bahkti,1991,hal 28

[2] Hermansyah.Hukum Perbankan Nasional Indonesia.Jakarta:Kencana,2007,hal 71

[3]Djumhana.Hukum Perbankan di Indonesia.Bandung:PT Citra Aditya Bakti,2000,hal 387

[4]Mariam Darus Badrulzaman,.Aneka Hukum Bisnis.Jakarta:1994,hal 145

[5] Hadi Soeprapto,Hartono.Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan.Yogyakarta:Liberty,1984,hal 50

[6] Subekti.Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum di Indonesia.Bandung:Alumni,1982,hal 29

[7]Mariam Darus badrulzaman,.op cit,hal 146